Tuna Netra dengan Dua Gelar Sarjana

Oleh: Haris Irnawan

Allah SWT telah menggariskan Jejen Jaenudin menjadi seorang tuna netra. Namun demikian dengan keterbatasannya sebagai tuna netra, Jejen Jaenudin adalah seorang yang pantang menyerah. Saat ini selain berstatus sebagai pegawai Departemen Agama, Jejen juga mengelola sebuah Yayasan SLB berbasis pesantren di kota Cianjur. Pada status nya sebagai pegawai Departemen Agama mengajar merupakan pekerjaan rutin yang dilakukannya. Nasib seseorang memang tidak ada yang tahu, dulu Jejen Jaenudin hanyalah seorang tukang pijat tuna netra yang berkeliling dari rumah ke rumah sampai akhirnya dia mendirikan panti pijat miliknya sendiri yang terus berkembang sampai saat ini. Hidup berkecukupan, ke sana kemari menggunakan kendaraan milik pribadi, dan itu merupakan buah perjuangan panjang yang telah dilakukannya sejak tahun 90 an.

Jejen Jaenudin, lahir di Bandung tanggal 10 April 1975 dari pasangan bernama Mahmudin dan Sumingrat. Lahir dalam keadaan normal (dapat melihat), namun pada usia 13 tahun saat bermain bola mukanya terkena bola yang ditendang kawannya dan mengakibatkan kebutaan. Dari kejadian tersebut, akhirnya Jejen yang tadinya sekolah di sekolah dasar umum harus pindah ke SLB sampai lulus setingkat SD.

Meskipun memerlukan perjuangan lebih, pada tingkat SLTP dan SLTA saya memutuskan meneruskan ke sekolah Tsanawiyah dan Aliyah. Alhamdulillah dengan bantuan banyak teman dalam proses belajar, saya dapat lulus Aliyah tahun 1996” ujar nya, saat ditanya soal kelanjutan sekolah oleh penulis.

Di sekolah Aliyah, Jejen kenal dengan seorang perempuan yang tidak henti-hentinya menyemangati dan membantu proses belajar, dan akhirnya perempuan itu menjadi istrinya.

Setelah menikah, saya ngontrak rumah petak dalam gang kecil di daerah pasar Tilil yang sekaligus dijadikan tempat mencari nafkah dengan membuka panti pijet tuna netra untuk membiayai keluaga dan kuliah. Saya kuliah di jurusan sastra IAIN Sunan Gunung Jati. Beberapa tahun kemudian saya mendapatkan informasi bahwa Departemen Agama memberikan kesempatan kepada Tuna Netra untuk dapat menjadi pegawai negeri namun harus lulusan sarjana pendidikan. Berbekal tekad untuk menangkap peluang itu akhirnya saya mengambil kuliah kedua di Sekolah Tinggi Agama Islam Siliwangi Jl. Seram Bandung.

Alhamdulillah, saya sudah menyelesaikan dua-duanya, gelar saya Sarjana Sastra dan Sarjana Pendidikan” tambahnya.

Sesuai niat untuk menangkap peluang, setelah selesai kuliah dari STAI Siliwangi, tahun 2004, Jejen akhirnya lulus seleksi penerimaan pegawai Departemen Agama yang akhirnya menghantarkan beliau menduduki posisi sebagai tenaga pengajar dan pengelola yayasan SLB.

Meski saat ini kehidupannya sudah berkecukupan, usaha panti pijat nya tetap dijalankan, dengan mempekerjakan para tuna netra lainnya.

”Saya tidak akan menutup usaha panti pijat, karena sejak Oktober 1997, saat saya belum memiliki pekerjaan tetap, panti inilah yang telah memberikan pendapatan bagi saya dan teman-teman tuna netra lain. Kala itu bila panti pijat sepi biasanya saya keliling kampung pada malam hari mulai pukul 9 sampai pukul 2 malam. Itu adalah bagian perjuangan yang harus dilalui sebelum sampai pada kondisi seperti sekarang”

Sebagai orang bapak yang tuna netra, dari pernikahannya dengan istri (normal), Jejen memiliki putra yang normal dan salah satunya saat ini sedang menyelesaikan studi di Universitas Islam Bandung (UNISBA).

Saat ditanya, apakah pernah mendapatkan penghargaan dari pihak luar atas upaya yang dilakukan kang Jejen selama ini, beliau menjawab dengan mengutip sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadist HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no:3289, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia

“prinsip saya itu saja, soal penghargaan saya sih tidak berharap, yang penting saya memberikan manfaat bagi orang lain khususnya yang bernasib sama sebagai tuna netra dan saya lakukan itu dengan penuh keikhlasan” tambahnya.

Itulah sekelumit kisah dari hasil wawancara penulis dengan Jejen Jaenudin, yang meskipun beliau seorang  Tuna Netra, namun pantang menyerah dalam menghadapi dan menyikapi hidup. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan inspirasi / semangat bagi kita semua yang diberikan kehidupan normal oleh Allah SWT untuk senantiasa terus berjuang dan tidak cepat putus asa.