Tata Kelola Investasi di Saham Bursa & Peluang Serta Risiko Berinvestasi di Saham Teknologi Bagi Investor Institusi

SUMBER : https://www.cfasociety.org/indonesia/Pages/ADVOCACY.aspx#

Pada akhir bulan Juli lalu perusahaan rintisan PT Bukalapak.com melakukan penawaran umum saham perdananya di Bursa Efek Indonesia. Aksi korporasi ini merupakan awal dari rencana perusahaan teknologi lain yang juga akan melantai di bursa saham kita dalam waktu dekat. Seperti gayung bersambut, kehausan investor akan pilihan saham teknologi yang belakangan ini sedang hype, terobati. Antusiasme investor yang besar membuat emiten ini dapat meghimpun dana sebesar Rp. 21,9 triliun di tengah kondisi pasar saham yang tengah lesu darah.

Setelah sempat mengalami lonjakan harga sehingga menyentuh ARA (auto rejection atas), dalam waktu yang tidak terlalu lama harga saham dengan kode BUKA sudah mengalami penurunan yang cukup signifikan hingga menyentuh ARB (auto rejection bawah). Volatilitas harga saham yang tinggi dalam waktu dekat ini mengingatkan kita bahwa pasar modal memang cenderung digerakkan oleh greed and fear instinct, sehingga mau tidak mau membuat kita galau. Kegalauan ini membuat kita perlu melihat lagi pakem berinvestasi khususnya di saham, terlepas bahwa saham teknologi merupakan jenis saham ekonomi baru yang membutuhkan pendekatan dan metrik valuasi yang juga berbeda.

Kerangka Berinvestasi di Saham Bursa

Mengacu pada body of knowledge program sertifikasi Chartered Financial Analyst yang dikelola oleh organisasi profesi investasi CFA Institute (https://www.cfainstitute.org), peran investasi di saham adalah untuk melakukan hedging terhadap inflasi dan sebagai mesin pertumbuhan untuk mengembangkan aset. Kelas aset saham memiliki ekspektasi return sekaligus tingkat risiko yang relatif lebih tinggi dibanding kelas aset lain, sesuai dengan sunatullah high risk high expected return.

Sehingga untuk bisa menciptakan nilai secara berkesinambungan dari investasi saham, diperlukan tata kelola dan manajemen risiko yang baik. Tahap pertama adalah perlu adanya investment policy statement atau arahan investasi yang salah satu bagian pentingnya adalah  kebijakan alokasi aset strategis yang idealnya disusun dalam sebuah koridor untuk mengoptimalkan peluang jangka pendek dan menengah (termasuk alokasi di kelas aset saham. Penyusunannya dilakukan dengan penetapan sasaran risiko dan return, dengan constraint kebutuhan likuiditas, horizon investasi, regulasi, perpajakan dan kebutuhan dan atau preferensi khusus apabila ada. Khusus bagi investor institusi yang memiliki kewajiban tertentu seperti asuransi dan dana pensiun dengan program manfaat pasti idealnya didahului dengan asset liability management study yang mengacu pada profil kewajiban, untuk mengukur risiko volatilitas rasio pendanaan.

Dalam eksekusinya, implementasi atas kebijakan alokasi aset strategis yang bersifat jangka panjang ini harus disesuaikan dengan assessment atas siklus makro ekonomi dan kondisi market dalam jangka pendek dan menengah sesuai dengan koridor batasan untuk optimalisasi secara taktikal. Hal ini disebabkan karena dalam siklus ekonomi tertentu kelas aset tertentu akan berkinerja lebih tinggi atau rendah dibanding rata-rata jangka panjangnya. Misalnya secara umum kinerja kelas aset pendapatan tetap akan berkinerja lebih baik dibanding kelas aset saham saham pada saat siklus kontraksi ekonomi dan sebaliknya.

Setelah ditentukan jumlah alokasi di kelas aset saham, maka pada tahap selanjutnya perlu dibuat strategi pembentukan porftolio dengan tujuan optimalisasi antara minimalisasi biaya, pajak dan volatilitas, serta untuk menyediakan peluang untuk mencetak kinerja yang unggul dibanding benchmark atau tolok ukur kinerja. Sebagai catatan, penilaian kinerja ini akan lebih baik lagi apabila dilakukan dengan mengacu pada standar praktik terbaik sebagaimana artikel majalah Asosiasi Dana Pensiun Indonesia edisi Mei-Juni 2021 yang lalu 'Global Investment Performance Standards : Upaya Meningkatkan "Trust" kepada Industri Investasi' dan materi standar kinerja investasi global / GIPS tersebut dapat diakses di laman https://www.cfainstitute.org/en/ethics-standards/codes/gips-standards.

Strategi dimaksud mencakup penetapan diversifikasi antara portofolio inti atau core yang bertujuan untuk memberikan stabilitas dengan portofolio satelit yang bertujuan untuk memberikan peningkatan return. Selanjutnya perlu ditetapkan diversifikasi antara strategi pasif yang bertujuan untuk menyamai kinerja indeks saham tertentu, strategi semiaktif yang bertujuan untuk mencapai kinerja relatif sedikit lebih tinggi dibanding indeks saham tertentu, serta strategi aktif yang bertujuan untuk mencapai kinerja relatif jauh lebih tinggi dibanding indeks saham tertentu. Semakin konservatif risk appetite investor, maka semakin besar porsi portofolio inti dan porsi investasi dengan strategi pasif. Sebaliknya semakin agresif risk appetite, maka semakin besar porsi di portofolio satelit dan investasi dengan strategi aktif dengan harapan untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi dibanding benchmark namun tentunya dengan risiko sebaliknya, malah jatuh lebih rendah dibanding benchmark.

Setelah itu perlu ditetapkan juga kebijakan diversifikasi mengenai gaya investasi. Gaya investasi adalah pengelompokan disiplin investasi secara natural yang memiliki daya prediksi dalam menjelaskan pergerakan return dalam portofolio investasi.  Terdapat beberapa gaya investasi antara lain :

1. value investing; yang memiliki fokus untuk berinvestasi di saham-saham dengan harga yang relatif lebih murah dari nilai fundamentalnya, dengan harapan bila faktor sentimen dan likuiditas teratasi, maka harga saham akan kembali naik ke level fundamentalnya sehingga diperoleh return. Gaya value investing terdiri dari beberapa bagian antara lain low P/E, contrarian & high yield.

2. growth investing; yang memiliki fokus untuk berinvestasi di saham-saham yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi, dengan harapan apabila ekspektasi pertumbuhan ini tercapai, maka harga saham akan mengalami kenaikan sehingga memberikan return. Sedangkan gaya growth investing terdiri dari beberapa bagian antara lain consistent growth & earning momentum.

Untuk menentukan keputusan diversifikasi antara kedua gaya berinvestasi ini harus dilihat profil kewajiban, horizon investasi dan risiko yang dapat diterima. Secara umum growth stock akan memiliki potensi return yang lebih tinggi namun juga risiko dan ketidakpastian yang lebih tinggi dibanding value stock.

Selain strategi mengenai struktur portofolio tersebut, sebagai investor saham yang hak klaimnya paling rendah dibanding investor obligasi dan kreditur lain, kita juga perlu memastikan bahwa perusahaan yang kita beli sahamnya memiliki tata kelola yang baik untuk mencegah masalah keagenan dan moral hazard, baik oleh manajemen maupun pemegang saham pengendali. Masalah keagenan adalah masalah di mana manajemen tidak bertindak untuk kepentingan terbaik pemegang saham. Moral hazard bisa berbentuk usaha yang kurang sungguh-sungguh, pemborosan dalam hal investasi dan biaya operasional, strategi bisnis untuk mengamankan posisi mereka, serta mengambil keuntungan pribadi.

Sebagai investor portofolio yang bersifat minoritas dan tidak memiliki hak pengendalian, tentunya kita harus berhati-hati agar uang yang kita titipkan dikelola dengan baik dan berbuah manis secara berkesinambungan dan mendukung pencapaian tujuan investasi kita.

Saham Teknologi yang Sedang Hype

Dengan adanya revolusi teknologi, perubahan gaya hidup dan juga dampak dari pandemi covid19 yang semakin mendorong perubahan ke arah ekonomi baru, peluang investasi di saham teknologi tidak bisa dinafikan lagi.  Dalam sesi Strategi Investasi di Saham dan Peluang Investasi Digital dalam forum seminar Outlook Ekonomi Asosiasi Dana Pensiun Indonesia tanggal 21 Juli yang lalu, disampaikan pula bahwa trend ke arah ekonomi baru ini tidak terhindarkan lagi.

Ekonomi digital Indonesia tumbuh kencang didorong oleh e-commerce. Proyeksi yang dibuat oleh Mandiri Sekuritas menyebut bahwa GMV (gross merchandise value atau akumulasi nilai pembelian dari pengguna melalui situs atau aplikasi) Indonesia akan mencapai US$76 miliar pada tahun 2025, tumbuh eksponensial dari nilai US$8 miliar di tahun 2017. Pandemi Covid19 juga membuat jumlah pengguna internet bertambah secara signifikan. Google, Temasek dan Bain & Company juga memperkirakan bahwa  jumlah jam yang dihabiskan untuk online meskipun akan turun namun diperkirakan tidak akan kembali ke level sebelum pandemi. Indonesia juga berada dalam ranking pertama di ASEAN dan ranking keempat negara dengan konsumsi internet terbesar di dunia pada posisi kuartal 1 tahun 2021 (http://www.internetworldstats.com). Kebanyakan perusahaan unicorn di ASEAN juga berasal dari Indonesia.

Dalam seminar tersebut juga ditampilkan data pergeseran top 10 market cap di bursa saham di US dan Hongkong yang menjadi didominasi oleh saham-saham digital, yang bisa jadi menjadi trajectory bagi bursa saham kita.

Article Ibu Rahma.png

Disampaikan juga bahwa salah satu sebab bursa saham Indonesia saat ini relatif tertinggal dibanding bursa saham negara lain adalah karena kurangnya eksposure saham-saham digital, yang menikmati benefit di tengah kondisi pandemi saat ini.

Mengacu ke literatur mengenai kerangka berinvestasi di saham sebagimana diuraikan di atas, saham-saham teknologi adalah termasuk ke dalam growth stock yaitu saham yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi, dengan harapan apabila ekspektasi pertumbuhan ini tercapai, maka harga saham akan mengalami kenaikan sehingga memberikan return.

Perusahaan-perusahaan digital memiliki karakteristik antara lain merupakan inisiatif yang relatif baru, berada pada early life cycle sehingga memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi namun terkadang cashflownya masih negatif, dan kalaupun sudah untung belum membagikan dividen karena kebutuhan investasi masih tinggi. Namun perlu diingat bahwa a good company (dalam arti perusahaan yang laporan keuangannya sudah bagus) does not always make a good investment (apabila harga kemahalan dan sudah tidak memiliki prospek pertumbuhan). Mengingat peran investasi saham dalam portofolio adalah untuk memberikan perlindungan terhadap inflasi dan memberikan potensi pertumbuhan, maka sudah sewajarnya salah satu pertimbangan dalam berinvestasi adalah melihat prospeknya. Hal ini pun sudah diakomodir oleh regulator dengan menghapus aturan bahwa untuk bisa listing di bursa saham, perusahaan harus sudah membukukan laba tiga tahun berturut-turut.

Valuasi Saham Teknologi

Secara umum valuasi harga saham adalah dengan menggunakan pendekatan pendapatan (income approach) atau pendekatan perbandingan pasar (price multiple approach). Dilema valuasi saham teknologi adalah apabila akan menggunakan pendekatan pendapatan, maka akan dapat ditangkap nilai dari potensi pertumbuhannya namun sulit dibandingkan dengan harga saham sejenis lainnya. Sebaliknya apabila menggunakan pendekatan perbandingan pasar, maka akan dapat ditangkap potensi pertumbuhan untuk diperbandingkan dengan perusahaan sejenis lain, namun di sisi lain karena masih berada di tahap awal, pendapatan perusahaan seringkali masih rendah atau negatif.

Jalan tengahnya adalah pendekatan penilaian dengan pendekatan perbandingan pasar yang disesuaikan dengan potensi pertumbuhan (growth adjusted price multiple), bisa berupa growth adjusted price to sales, growth adjusted price to GMV dan seterausnya. Belajar dari pengalaman Amerika, nilai growth adjusted price to sales dari saham-saham teknologi sejak tahun 2006 berada pada kisaran 0,2-0,3x (sumber : STAR & Kredit Rating Indonesia).

Namun demikian karena berinvestasi di saham teknologi ibarat membeli harapan, maka sesuai dengan teori behavioral finance yang juga merupakan bagian dari body of knowledge program sertifikasi Chartered Financial Analyst sebagaimana diulas dalam artikel majalah Asosiasi Dana Pensiun Indonesia edisi Juli-Agustus 2020 yang lalu berjudul "Jebakan Behavioral Fianance Dalam Pengelolaan Investasi", investasi di saham teknologi ini relatif lebih rawan terhadap bias-bias psikologis khususnya perilaku herd behavior atau ikut-ikutan. 

Fenomena dot com bubbles yang terjadi pada saat awal munculnya internet di tahun 2000an tentunya menjadi pelajaran bagi kita. Kenaikan harga-harga saham teknologi yang sangat tinggi karena aksi borong para investor yang pada akhirnya mengalami penurunan drastis karena aksi jual ini mendorong E.S. Browning & Greg IP, reporter Wall Street Journal menulis tentang mitos-mitos investasi di saham teknologi pada bulan Oktober 2000. Mitos tersebut antara lain disebutkan sebagai berikut:

1.       Perusahaan teknologi dapat terus memberikan keuntungan yang menakjubkan dalam hal keuntungan, penjualan dan produktivitas di tahun-tahun mendatang; dalam kenyataannya kompetisi dan disrupsi akan menormalisasinya.

2.       Perusahaan teknologi tidak akan terkena dampak ekonomi seperti perlambatan ekonomi dan kenaikan suku bunga; dalam kenyataannya perusahaan teknologi tidak memiliki imunitas tersebut.

3.       Monopoli menciptakan keuntungan yang tidak terkalahkan; dalam kenyataannya ada concern terhadap antitrust seperti yang dialami Microsoft di mana sahamnya sempat anjlok hingga separuh harga karena tuntutan Departemen Kehakiman.

4.       Pertumbuhan internet secara eksponensial baru dimulai dan akan terus terakselerasi; dalam kenyataannya pertumbuhan akan cenderung melambat dengan adanya high basis dan faktor lain seperti kompetisi dan disrupsi.

5.       Prospek adalah jauh lebih penting daripada keuntungan saat ini; dalam kenyataannya hal ini tergantung pada horizon investasi dan risk appetite investor.

6.       Pada saat ini, semua hal berbeda (sehingga pantas mendapatkan euphoria yang di luar kebiasaan); dalam kenyataannya tetap ada hal-hal yang secara umum akan menjadi batasan.

Meskipun saat ini penggunaan internet dan business modelnya sudah semakin matang dan terbukti sehingga sangat berbeda kondisinya dengan tahun 2000an, namun kecenderungan investor untuk ikut-ikutan dengan logika "You jump, I jump" sehingga menjadi tidak rasional dalam melakukan valuasi saham teknologi, tetap perlu kita waspadai karena bisa bersifat kontraproduktif atau bahkan bisa mengulang kesalahan sejarah berupa fenomena euphoria irrational exuberance yang dipopulerkan oleh Alan Greenspan.

Tips Berinvestasi di Saham Teknologi

Sebagaimana pepatah no pain no gainberakit-rakit dahulu berenang-renang ke tepian, atau jer basuki mawa bea (red_Jawa : setiap keberhasilan memerlukan pengorbanan), maka tidak ada return apabila tidak mengambil risiko. Mengingat trend ke arah digitalisasi sudah menjadi keniscayaan, maka strategi menutup mata terhadap peluang saham teknologi ini akan menimbulkan loss opportunity. Yang penting adalah risiko yang diambil adalah terukur dan sesuai dengan tujuan dan constraint dari investasi kita.

Untuk bisa menciptakan nilai dari investasi saham, maka setelah mengerjakan pekerjaan rumah mengenai penyusunan tata kelola investasi di saham, penentuan alokasi aset di saham baik secara strategis maupun taktikal, penentuan strategi portofolio (antara lain kebijakan diversikasi antara inti/satelit; antara pasif/semiaktif/aktif; antara value/growth) yang tentunya akan berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing investor, serta dilanjutkan dengan penentuan strategi sektoral untuk menemukan sektor mana yang akan benefit dalam siklus ekonomi dan kondisi saat ini, maka perlu dilakukan analisis untuk menentukan pemilihan saham (stock selection) secara selektif yang akan dimasukkan ke dalam portofolio.

Selain memilih saham yang memiliki manajemen dan tata kelola yang baik, saham teknologi yang akan bertahan adalah yang memiliki ekosistem yang menyeluruh untuk menciptakan barrier to entry bagi pesaing sehingga akan mengamankan proses memonetisasi jumlah pelanggan dan penjualan yang besar. Laporan keuangan dengan cashflow yang masih negatif atau merugi bukan hal yang pantang, mengingat praktek membakar uang ini dapat dianalogikan sebagai belanja working capital (perusahaan non teknologi pun masih merugi pada fase awal beroperasi). Namun yang perlu dicermati adalah trendnya, apabila semakin besar kerugiannya maka perlu dipertanyakan apakah business propositionnya dapat diterima oleh pasar. Dan hal ini kembali kepada kebijakan, strategi dan risk appetite masing-masing investor. Analoginya adalah saat kita akan membeli apartemen, pada saat baru berupa prospek tentu harganya masih relatif murah karena risiko juga tinggi, baik risiko legal, konstruksi maupun operasional. Namun apabila kita baru berani mebeli unit apartemen yang sudah jadi dan beroperasi secara penuh dengan ekosistemnya, tentunya harganya pun sudah relatif mahal.

Untuk itu sebagai investor kita juga perlu mengecek apakah perusahaan memberikan user experience yang bagus, antara lain dengan mencoba produknya dan membandingkan dengan produk dari perusahaan lain apabila ada. Hal yang penting lainnya adalah pada saat membeli saham, pastikan harganya tidak kemahalan dan dapat dijustifikasi dengan potensi pertumbuhan yang wajar tentunya dengan metrik valuasi ekonomi baru sebagaimana diulas di atas. Setelah itu jangan terombang ambing oleh greed & fear pasar yang membuat kita melakukan transaksi jual beli yang tidak perlu sehingga berdampak pada biaya investasi yang tinggi.

Mengingat masih besarnya ketidakpastian perusahaan mana yang pada akhirnya akan established dan memenangkan kompetisi, maka diversifikasi juga merupakan suatu keharusan. Prinsip "jangan menaruh seluruh telur di satu keranjang' memerlukan suatu disiplin. Sebagai contoh, dari sekian banyak layanan yang dirilis oleh perusahaan Gojeg, layanan yang benar-benar diterima masyarakat dapat dihitung dengan jari. Dengan diversifikasi, diharapkan keuntungan dari beberapa investasi yang berhasil dapat menutup kerugian dari investasi yang merugi, bahkan memberikan nilai tambah.

Perlu diingat pula bahwa eksposur terhadap ekonomi baru tidak hanya diperoleh dari investasi di perusahaan-perusahaan rintisan yang baru melantai di bursa saham, namun juga dari perusahaan eksisting yang tentunya akan berusaha melakukan transformasi digital dengan beradaptasi terhadap perubahan trend teknologi dan gaya hidup.

Siti Rakhmawati, CFA

Direktur Investasi Dana Pensiun Telkom

(Tulisan ini disiapkan untuk majalah Asosiasi Dana Pensiun Indonesia, disarikan dari CFA Body of Knowledge, & berbagai sumber).