Manual Bertahan Hidup bagi Karyawan yang Tak Pernah Ditakdirkan Jadi Konglomerat
Manual Bertahan Hidup bagi Karyawan yang Tak Pernah Ditakdirkan Jadi Konglomerat
Ada satu masa dalam hidup seorang karyawan biasa ketika mimpi tidak lagi meledak-ledak seperti kembang api, tetapi lebih mirip lampu LED hemat energi—menyala stabil, fungsional, dan irit daya. Kita menyebutnya kedewasaan, atau mungkin penjinakan diri oleh struktur gaji bulanan. Entahlah. Yang jelas, di tengah ritme absen pagi, rapat yang tak pernah benar-benar berakhir, dan surat keputusan yang kadang lebih panjang dari harapan hidup, mimpi-mimpi itu tetap bernafas. Tipis, tapi keras kepala—sekeras staf finance mengejar bukti potong pajak.
Mimpi karyawan biasa selalu sederhana, tapi justru di situlah tragedi sekaligus keindahannya. Ia tidak bermimpi menaklukkan dunia—hanya ingin dunia tidak menaklukkannya terlalu cepat. Ia menabung sedikit demi sedikit, bukan untuk membeli pulau pribadi, tetapi agar kelak ada ruang di masa tua di mana ia bisa duduk tanpa cemas memikirkan tagihan listrik dan biaya servis AC. Ironisnya, perencanaan itu sering dimulai terlambat, hadir setelah tubuh memberi petunjuk halus: punggung yang mulai berkomentar, rambut yang tidak lagi demokratis dalam memutuskan tumbuh di mana, atau jam biologis yang tiba-tiba menuntut prioritas.
Di perusahaan, ia belajar bahwa hidup tidak selalu linear. Rekan yang rajin bisa tersingkir, yang malas bisa naik jabatan; semua bergantung konstelasi politik, kedekatan meja dengan ruang direksi, atau sekadar momen keberuntungan kosmis. Dari absurditas itu, ia menyimpulkan satu hal: satu-satunya yang bisa ia rencanakan dengan jujur hanyalah dirinya sendiri. Maka ia mulai merapikan mimpi seperti merapikan dokumen: mana yang harus diproses sekarang, mana yang perlu ditandatangani kemudian, dan mana yang sebaiknya diarsipkan karena sudah usang atau terlalu ambisius untuk realitas slip gaji.
Ada malam-malam ketika ia bertanya pada dirinya sendiri: apa sebenarnya tujuan bekerja selama puluhan tahun? Gaji? Jabatan? Pengakuan? Atau sekadar ilusi ketertiban dalam hidup yang sejak awal kacau? Jawabannya tidak pernah pasti. Tapi setiap kali ia melihat orang-orang tua yang masih harus bekerja karena tidak punya pilihan, hatinya mengetuk: jangan ulangi nasib yang sama. Di situlah mimpi masa depan kembali menemukan bentuknya: tua yang tidak hanya hidup, tapi sejahtera—apa pun definisinya bagi setiap orang.
Namun ia sadar, kesejahteraan bukan hadiah, melainkan akumulasi keputusan-keputusan kecil yang sering luput dirayakan: komitmen menabung meski gaji pas-pasan, menolak belanja impulsif di akhir bulan, mulai memahami rencana pensiun yang bahasanya sering lebih rumit daripada peraturan perusahaan, hingga berani berkata tidak pada gaya hidup yang tidak sanggup ia biayai. Di balik kesederhanaannya, keputusan-keputusan ini seperti pancingan halus agar masa depan sedikit lebih ramah.
Mimpi-mimpi seorang karyawan biasa tidak pernah heroik. Tapi justru karena itu, ia universal. Ia adalah doa-doa kecil yang diucapkan sambil menunggu lift yang tak kunjung turun, niat baik yang terselip di antara spreadsheet, harapan yang bersembunyi di balik slip gaji. Dan ketika tua nanti akhirnya tiba, ia ingin menepuk bahunya sendiri dan berkata: “Aku tidak hebat, tapi aku sudah merencanakan secukupnya. Dan cukup—kadang—adalah bentuk paling manusiawi dari kebahagiaan.”
Dapen Telkom