Belajar di Usia Senja
Belajar di Usia Senja
Rumahku hanya selemparan batu dari masjid. Jalan kaki? Dua menit saja. Jika hujan turun, suamiku dengan sigap mengeluarkan mobil, membawa kami ke sana dengan kehangatan yang tak perlu diucapkan.
Kami sudah merdeka. Merdeka dari kerepotan hectic morning yang dulu mewarnai hari-hari kerja kantoran dan mengurus anak. Sekarang, anak-anak sudah besar, sudah mandiri. Kami pun, alhamdulillah, masih dalam keadaan sehat. Lantas, masih adakah alasan yang menahan diri ini untuk tak banyak beribadah dan bertaklim? Tak ada. Kecuali satu: rasa malas dan enggan yang harus kulawan.
Kajian usai salat Shubuh pagi ini, pelajaran bahasa Arab . Kelas yang kutunggu dengan perasaan campur aduk—harap dan cemas bercampur jadi satu. Bagaimana tidak? Rekam jejak relasiku dengan bahasa ini tidaklah baik-baik saja. Tak punya latar belakang sekolah madrasah, tidak juga pesantren, membuatku asing dengan bahasa ini. Aku sungguh bingung dan kesulitan mempelajarinya.
Jujur, ada masa dan rasa putus asa dengan si Nahwu dan Shorof, cabang ilmu Bahasa Arab. Sejak hari-hari riang remaja hingga sekarang, di awal masa purna tugas kantoran, hubungan kami putus nyambung. Seperti lagu lawas yang terus diputar ulang, tapi tak kunjung selesai dipahami.
Sekarang, aku senang sekali masih diberi kesempatan untuk belajar bahasa yang selama ini tak pernah dapat kukuasai. Namun, diliputi pula kecemasan. Malu. Merasa tak mampu. Bukankah kemampuan belajar dan mengingat akan menurun seiring dengan usia?
Sampai kemarin, kudengar Pak Ustadz berkata dengan lembut: "Sekarang niatkan saja untuk ibadah, agar lebih mengerti agama kita. Sebab Al-Qur'an kita dalam bahasa Arab."
Ya sudahlah. Mau bagaimanapun hasilnya, insyaallah kujalani saja lagi.
Tapi masalahnya pagi ini, tiba-tiba Pak Ustadz bilang ada ujian.
Kertas soal dibagikan. Jantungku berdegup. "Duuuh bagaimana ini? Banyak yang belum kupahami. Belum sempat mengulang pelajaran di rumah." Sesal menyelinap di hati.
But, the show must go on. Jalani saja, kan?
Pak Ustadz memotret murid-muridnya yang susah ingat dan gampang lupa ini dari depan secara diam-diam. Foto itu dikirimnya lewat grup WhatsApp kami dengan caption jenaka: "Heningnya kelas…hanya pena yang berbicara. #UjianBahasaArab tengah semester"
Hihihi... tahu saja, Pak Ustadz ini, betapa soal-soal itu membuat kening kami makin berkerut-kerut. Kami yang perempuan di bagian belakang berusaha serius mengerjakan sendiri-sendiri. Tidak saling menyontek. Di foto itu, tampak kami sampai terbungkuk-bungkuk mendekatkan wajah ke kertas soal. Teman di sebelahku bahkan menggunakan senter dari handphone, menyorot baris-baris soal bahasa Arab yang tampak seperti semut beriring.
Lalu, di titik pasrah saat ujian tadi, hasilnya keluar. Betapa takjubnya aku, dari 10 soal, jawabanku yang benar ada 6.
Alhamdulillah. Not bad, kan?
Apa rahasianya? Ya, itu karena ustadznya pintar menyenangkan hati kami murid-muridnya. Soal-soalnya sengaja dibuat semudah mungkin, memberi kami kemenangan kecil yang terasa begitu besar.
Ketika hal ini kuceritakan lewat grup WhatsApp kepada teman-teman kosan jaman mahasiswa dulu, beragam komentar mereka menyembul:
"Semangat mbaaak,..."
"Jadi termotivasi pengen belajar lg jg. Semoga dpt guru yg baik."
Tapi ada satu komentar yang menohok hatiku:
"Dulu karena masih muda, semangatnya pengen cepat bisa aja. Nah, ketika terbentur tembok ilmu Nahwu Shorof, aku terpental, gak sabar. Perihnya belajar membuatku menyerah, Setelah bekerja dan berumah tangga, kesibukan membuatku tak punya waktu untuk belajar."
Aku terdiam. Itu adalah ceritaku juga.
Namun, kali ini berbeda. Aku takkan menyerah. Meski senja mulai menyapa, saat kata orang diusia ini belajar bagai mengukir di atas air, insyaallah aku akan mulai lagi. Semoga diridhai Allah SWT. Makin susah, semoga makin bertambah pahalanya.
***
"Huwa, humaa, hum..." aku merapal dhomir, kata ganti laki-laki dalam bahasa Arab, di dalam kendaraan yang tersendat menembus kemacetan jalan Terusan Kiaracondong, kota Bandung.
Tiba di perempatan Samsat Soekarno Hatta --Persimpangan yang terkenal karena lampu merahnya menghabiskan umur, karena lama sekali. Hujan menderas.
"Kasihan anak-anak sekolah yang mesti berangkat pagi-pagi, karena wajib masuk jam 06.30. Diantar mobil, macet. Diantar motor, dingin dan basah." Gumamku saat menatap pemandangan orang-orang berjas hujan dari jendela samping yang basah, mengalirkan titik air.
Suamiku, seperti biasanya, pendengar yang baik. Hanya diam atau sedikit mengangguk. Tiba-tiba nyeletuk sambil nyengir, “Kok hafalannya, jadi berhenti?”
Ups. Aku tersadar dari distraksi sesaat dan berusaha kembali fokus. "Hiyaa, humaa, hunna..." Kali ini merapalkan kata ganti Perempuan.
Nahwu dan Shorof memang sebagiannya harus dihafal dan diulang-ulang, begitu selalu pesan Pak Ustadz.
"Sampai kapan, Tadz?" kejarku penasaran.
"Sampai akhir menutup mata," jawabnya tenang.
Kalimat itu menggantung di udara. Dalam. Menenangkan sekaligus menyadarkan.
Iya deh. Selama hayat dikandung badan, aku akan terus menuntut ilmu. Meski seperti kata teman: "Kita ini, startnya low, gonya slow, biarin aja, alon-alon asal kelakon, kok."
Ustadz pernah bercerita tentang uwaknya yang memulai belajar bahasa Arab setelah pensiun. Ternyata, membuatnya tidak pikun. Hal itu karena otaknya terus dilatih dan digunakan. “Ibarat mesin mobil, mesti tetap diangetin tiap pagi, agar kondisinya selalu prima. Menjadi mengerti bahasa Arab hanya dampak positifnya aja.” Pungkas pak ustadz
Mendengar itu, niat belajar bahasa Arabku, kusetel ulang: "Bukan hanya agar dapat memahami agamaku dengan lebih baik lagi, tapi juga menjaga kesehatanku sendiri agar tak pikun."
Dan tujuan utama belajarku berpegang kepada nasihat Pak Ustadz: "Menggapai ridho Allah untuk mendapat rahmat dan maghfiroh-Nya." Semoga Allah SWT mudahkan.
***
Hal lain yang membuatku semangat setiap bangun di pagi hari adalah karena ingin belajar ini itu. Mencoba ini itu. Hal-hal positif yang dulu tak sempat aku lakukan. Kabar baiknya, semangat itu ditopang oleh stok guru melimpah di era digital ini. Mau belajar apa saja, bisa. Semuanya ada di YouTube. Pelajaran Bahasa Arab pun ada. Bahkan, gampang dicerna.
Kesibukan belajar yang menyenangkan dan membuat tak terasa waktu berlalu dengan penuh makna.
Aku juga belajar renang melalui YouTube. Lalu mempraktekkannya di kolam renang komplek, di belakang masjid. Sambil menyelam minum air, sambil berenang mengulang hafalan "huwa huma hum..." Tak terasa, tahu-tahu berenangnya jadi lebih rileks. Tahu-tahu sudah bisa bolak-balik di jalur yang panjang.
Ya, setiap hari aku terlihat sibuk tapi santai. Seperti kata seorang teman pensiunan dengan jenaka: "Sekarang saya kerja di Freeport, kadang-kadang free, kadang-kadang repot."
Life will never be the same dari waktu ke waktu. Dan itu yang indah.
Kebiasaan sehari-hari inilah yang membantuku tetap sehat, bahagia, dan produktif di masa pensiun. Bukan karena harus mengejar sesuatu, tapi karena masih bisa belajar. Masih diberi kesempatan mengukir—walau di atas air—dengan penuh syukur.
Dan di setiap guratan yang memudar itu, ada doa: Ya Allah, jadikanlah ilmu ini bermanfaat. Untuk dunia dan akhiratku.
Usia bukan penghalang untuk belajar. Justru di senja usia, belajar menjadi ibadah yang lebih tulus—karena bukan lagi untuk mengejar nilai atau prestasi, tapi untuk mengenal-Nya lebih dalam.
Alon-alon asal kelakon. Pelan-pelan, asalkan terus berjalan.
***
Bandung gerimis, Desember 2025
Dapen Telkom